Belajar bahasa Jawa mungkin merupakan sesuatu yang berat bagi sebagian orang. Kenyataannya, ternyata bukan hal yang mustahil bahwa orang Jawa sendiri merasa kesulitan mempelajari bahasa Jawa. Hal ini merupakan kasus umum, bahkan juga dirasakan oleh penutur bahada daerah lain. Hal ini bisa terjadi karena adanya kebiasaan untuk berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris, alih-alih menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah atau bahasa Ibu mereka. Di luar dari hal tersebut, belajar bahasa Jawa dapat dilakukan dengan cara yang santai dan menyenangkan, salah satunya yaitu dengan cara membuat dan melontarkan parikan.
Parikan adalah salah satu kearifan lokal Jawa yang cukup dikenal masyarakat karena parikan ini termasuk dalam tradisi lisan sekaligus sastra lisan (Jupriono, 2010: 187). Parikan dapat digolongkan sebagai seni rakyat asli adalah (Hooykaas dalam Jupriono, 2010: 188). Parikan ini dapat dikatakan sebagai pantun versi bahasa Jawa. Parikan dapat diselipkan di berbagai karya sastra, seperti pantun yang pada umumnya digunakan sebagai pemeriah dan pemecah suasana agar lebih akrab yang tidak jarang mengandung sisi humor. Parikan dapat terdapat di dalam puisi, lagu, tembang, pidato, bahkan pada dialog-dialog. Parikan masih sering ditemui dalam ludruk (salah satu kesenian drama dari Jawa Timur) dan wayang.
Terdapat dua jenis parikan, yang pertama adalah parikan lamba yang terdiri dari dua baris saja, atau di dalam karya sastra melayu dikenal dengan sebutan karmina. Terdiri satu baris sampiran, dan satu baris isi. Yang kedua adalah parikan rangkep yang terdiri dari empat baris. Terdiri dari dua baris sampiran, dan dua baris isi.
Gambar di atas adalah contoh parikan rangkep yang terdapat di postingan Instagram @pusakajawa.ugm sebagai realisasi konten #SeninParikan. Dua gambar tersebut merupakan sedikit dari contoh bahwa parikan dapat digunakan untuk media hiburan di masyarakat dan ajang belajar bahasa Jawa. Berdasarkan penjelasan di atas, di bawah ini adalah alasan-alasan umum mengapa parikan dapat dijadikan sarana untuk belajar berbahasa Jawa.
Pertama, bermain parikan dapat mengasah kemampuan berbahasa Jawa. Seperti pantun pada umumnya, parikan menuntut kesamaan bunyi atau rima di akhir barisnya. Struktur inilah yang membuat seseorang mau tidak mau harus memikirkan bagaimana cara agar mereka dapat membuat parikan yang menarik, tetapi juga benar sesuai kaidahnya. Sebagai pembelajar, pembuatan parikan dapat dilakukan dari hal yang sederhana terlebih dahulu, misalnya menggunakan kosa kata sehari-hari yang sudah akrab di telinga, dan menuliskannya ke secarik kertas atau buku. Bagi seseorang yang sudah mahir atau wasis, baris-baris parikan sudah dapat dilakukan tanpa memikirkan lebih dalam dan otomatis keluar dari pemikirannya. Hal itu terjadi karena perbendaharaan kata berbahasa Jawa yang sudah banyak karena sering berlatih.
Kedua, parikan dapat dilakukan mengikuti dialek bahasa masing-masing. Mungkin hingga saat ini, bahasa Jawa Mataraman (Yogyakarta dan Surakarta) dinilai sebagai bahasa Jawa yang baku. Parikan tidak terikat dengan hal tersebut, melainkan diperbolehkan dikreasikan dari berbagai macam dialek, misalnya adalah dialek Surabaya-an. Sebagai buktinya, kesenian Ludruk masih memberdayakan parikan di setiap pementasannya. Parikan juga dapat dijadikan kreasi-kreasi, misalnya dituangkan di dalam desan baju, tas, atau hal-hal yang bersifat komersial lainnya.
Ketiga, parikan dapat mengandung sisi humor. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selipan sisi humor di suatu pembelajaran membuat pembelajaran terasa meyenangkan dan tidak membosankan. Parikan, seperti contoh-contoh di atas terdapat sisi-sisi humor yang sudah akrab di kehidupan sehari-hari.
Alasan-alasan di atas dapat dijadikan acuan bahwa belajar membuat parikan adalah salah satu cara untuk belajar berbahasa Jawa yang mudah dan menyenangkan. Setiap orang dapat membuat parikan dengan versi mereka sendiri. Baik itu untuk sebuah karya sastra atau untuk hiburan bahkan candaan semata.
Penulis: Vighna
Referensi:
Jupriono, D. (2010). Marginalisasi dan Revitalisasi Parikan di Era Kelisanan Sekunder. ATAVISME, 13, 187–200. https://doi.org/10.24257/atavisme.v13i2.130.187-200